Tugas Bahasa Indonesia : Hikayat Si Miskin || Ringkasan + Full Text



RINGKASAN: Hikayat Si Miskin

Pendahuluan  

Hikayat adalah salah satu dari cerita rakyat yang berasal dari Melayu klasik yang menonjolkan unsur penceritaan berciri kemustahilan dan kesaktian tokoh-tokohnya

Pembahasan  

Sinopsis adalah ikhtisar karangan yang biasanya diterbitkan bersama-sama dengan karangan asli yang menjadi dasar sinopsis itu. Sinopsis disebut juga dengan ringkasan atau abstraksi.

Kesimpulan  

Ringkasan Hikayat Si Miskin

Pada zaman dahulu kala di negeri antah berantah yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Maharaja Indera Dewa, hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Si Miskin sebenarnya adalah seorang raja yang dikutuk oleh Batara Indera hingga seperti itu.

Pada suatu hari, raja-raja, menteri, hulubalang, dan rakyat sedang menghadap baginda raja. Si Miskin juga ingin datang menghadap. Sebelum menemui raja, orang-orang yang melihatnya tertawa dan melemparinya dengan batu dan kayu hingga badannya penuh darah. Baginda raja yang mendengarnya bertanya ada apa. Kemudian baginda raja memerintahkannya untuk diusir. Orang-orang pun mengusirnya hingga ke tepi hutan, tempat di mana ia bermalam akhirnya.

Ketika siang hari, si miskin pergi ke kampung untuk mencari rejeki. Tetapi sesampainya di kampung, orang-orang mengusirnya dengan kayu. Si miskin berlari ke pasar, tetapi di pasar, ia pun dilempari batu hingga tubuhnya penuh darah. Sepanjang jalan si miskin menangis dan kesakitan. Hingga akhirnya ia sampai di tempat pembuangan sampah dan menemukan sepotong ketupat yang sudah basi dan ruas tebu. Dimakanlah ketupat tersebut oleh sepasang suami istri tersebut dan sebagi penghilang dahaga, diminumlah ruas tebu tersebut.

Tak berapa lama, istri si miskin hamil tiga bulan. Sang istri ingin sekali makan buah tempelam (mangga) yang ditanam di taman raja. Segera si miskin menolaknya dan istrinya menangis karena menginginkan buah tersebut. Si miskin berjanji akan membawakan buah tersebut, dan istrinya pun berhenti menangis.

Si miskin pergi ke pasar dan menemui pedagang buah, meminta buah tempelam yang busuk untuk istrinya yang sedang hamil. Orang-orang yang biasanya mengusir dan memukulinya, merasa kasihan. Mereka tidak hanya memberikan buah tepelam, tetapi juga nasi, bahan pakaian, dan buah-buahan. Ketika sesampainya di rumah, ia menceritakan apa yang ia peroleh dari pasar.Istrinya menangis menolak semua pemberian itu. Istrinya hanya menginginkan buah tempelam yang ditanam di taman raja.

Karena tidak tahan dengan istrinya, si miskin nekat menghadap Maharaja Indera Dewa yang saat itu sedang mengadakan pertemuan. Si miskin meminta buah tempelam yang sudah jatuh untuk istrinya. Raja memberikannya setangkai. Ketika ia sampai di rumah, istrinya sangat senang.

Tiga bulan kemudian, sang istri menginginkan buah nangka yang ditanam di taman raja. Si miskin pun pergi menghadap baginda raja dan bersujud memohon buah nangka. Baginda raja pun memberikannya.

Hingga akhirnya sang istri melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Mereka memberinya nama Markaromah, yang artinya anak di dalam kesukaran.  

Kemudian si miskin ingin membangun rumah untuk mereka bertiga. Ketika ia menggali tanah untuk menancapkan tiang, ia menemukan telaju yang berisi banyak emas.

TEXT : Hikayat Si Miskin

 Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok

(Bagian I)

Alkisah pada jaman dahulu kala, diceritakan ada sepasang suami istri yang sangat miskin teramat miskin, mencari makan sampai ke sebuah negeri Antah Berantah yang dipimpin oleh seorang raja yang masyhur namanya, dialah Maharaja Indra Dewa.

Maka, sesampainya di negeri Antah Berantah, sepasang suami istri miskin  itu, sambil menahan perutnya yang dililit lapar, mereka mengais-ngais mencari sisa makanan di tempat sampah di halaman luar istana Maharaja Indra Dewa.  Orang-orang yang melihat sepasang pengemis tua dengan pakaian compang-camping dan buruk rupa itu jadi ramai seketika. Mereka mengejek dan mentertawai tingkah laku kedua pengemis yang sedang mengais-ngais sampah mencari sisa makanan. Bahkan ada yang sampai hati melempari dengan batu dan ranting kayu.

Sementara itu di Balai Pertemuan, Maharaja Indra Dewa yang sedang mengadakan pertemuan dengan para menteri, hulubalang dan para prajurit kerajaan, mendengar ada suara riuh di halaman luar istana.

“Ada apakah ramai-ramai di luar itu?” tanya Baginda, lalu kepada seorang prajurit ia perintahkan untuk segera meninjau keluar istana. Gerangan apa yang telah terjadi.  Setelah memohon pamit, sang prajurit segera keluar dari ruang pertemuan. Tak lama kemudian ia kembali menghadap Raja, memberi laporan.

“Ampun, Baginda Maharaja. Di luar istana terjadi keramaian disebabkan oleh banyak orang yang mengolok-olok sepasang pengemis miskin yang mengais-ngais sampah mencari sisa makanan.”

“Usir mereka. Jangan membuat onar di halaman istanaku!” perintah Baginda Raja

“Siap, Baginda.”

Sang Prajurit segera meninggalkan ruang pertemuan dan bergegas mendatangi orang-orang yang sedang mengolok-olok sepasang pengemis dengan melempari batu dan ranting kayu. Mereka ingin mengusir sepasang pengemis miskin itu agar pergi menjauh dari kampung mereka karena tubuhnya kotor dan bau serta  pakaian mereka yang compang-camping itu rasa tak sedap dipandang mata. Suami istri pengemis itu dengan tubuh gemetar menahan lapar, cepat-cepat berusaha pergi. Sang suami berusaha melindungi istrinya agar tak terkena lemparan batu dari orang-orang yang tak menyukai kedatangan mereka di negeri Antah berantah itu. Lemparan-lemparan batu dan kayu itu beberapa ada yang mengenai badan dan kepalanya, meninggalkan luka sampai berdarah.

Maka, sesampainya prajurit itu di halaman luar daripada istana raja, diusirlah orang-orang yang membuat gaduh itu.  Orang-orang segera kembali ke rumahnya masing-masing, sedangkan sepasang pengemis laki bini itu, sembari menahan lapar, berjalan tertatih-tatih menuju ke hutan mencari tempat untuk berlindung.

Dengan hati was-was karena takut dimangsa binatang buas, malam itu simiskin tidur di pinggir hutan. Keesokan harinya, ketika mereka terbangun dari tidur, rasa lapar sudah teramat sangat melilit perut. Maka pergilah sang suami mencari rejeki. Akan tetapi begitu ia sampai ke dekat kampung, orang-orang langsung mengusirnya dengan sambitan kayu dan lemparan kayu. Maka,  si Miskin itupun larilah ia menuju ke pasar. Akan tetapi begitu ia sampai di pasar dan orang-orang melihatnya, segera ia di hadang dengan lontaran batu, bahkan ada yang memukulnya dengan kayu. Maka larilah si Miskin terbirit-birit sambil menahan sakit terkena lemparan batu, sementara rasa lapar kian menyengat perutnya. Hampir mati rasanya ketika kemudian ia sampai disuatu tempat di mana orang-orang biasa membuang sampah.

Berhentilah ia di sana. Dengan tubuh yang gemetaran, segeralah ia mengais-ngais sampah, mencari sesuatu yang layak untuk dimakan. Sampai akhirnya, di dalam tumpukan sampah itu ia menemukan ketupat basi dan sekerat tebu. Cepat-cepat ia pergi kembali ke hutan menemui istrinya, lalu dimakannya ketupat basi yang hanya sebiji itu berduaan. Ketupat habis, segera dimakannya sekerat tebu. Alhamdulillah tubuh serasa segar kembali setelah beberapa hari tak makan nasi.

Demikianlah hidup simiskin itu sehari-hari, kelaparan menahan lapar. Serasa mati dalam hidup. Hendak minta makan ke rumah orang tapi takut. Jangan kata diberi sesuatu, baru sampai ke dekat rumahnya sudah diusir dia.

Menjelang petang, si Miskin merintih kesakitan sembari menghapus darah-darah yang sudah mengering di tubuhnya. Setelah itu ia tertidur bersama sang istri dalam pelukannya. Pagi hari ketika terbangun dari tidurnya, berkata ia kepada istrinya: “Istriku, sakit sekali rasanya badanku ini.” Tanpa disadari, air matanya jatuh menetes. Sang istri yang melihat hal itu, menjadi iba hatinya akan penderitaan suami tercinta. Sambil berusaha menahan air matanya, segera ia pergi mencari dedaun muda di sekitarnya, lalu dimamahnya, dan dibalurkan ke sekujur badan suaminya sambil berkata:  “Sudahlah, jangan bersedih suamiku. Kita harus kuat menghadapi cobaan ini. Kita sudah terkena sumpah Batara Indra. Kita harus kuat menjalaninya.”

Mendengar kata-kata istrinya, si Miskin menyadari keadaan nasip hidupnya. Bahwa sesungguhnya ia memang seorang aslinya seorang Raja keindraan yang karena kesalahannya menjadi jatuh miskin dan hidup terlunta-lunta oleh sebab kutukan dari Batara Indra.

Si Miskin menghela nafas panjang. Tubuhnya terasa segar kembali. Pelan-pelan ia bangkit berdiri. Lalu pergi, masuk ke dalam hutan, mencari umbi-umbian.

***

Hari berganti hari, berganti minggu dan bulan. Dan waktu terus berjalan. Bersama istrinya, si Miskin tinggal di tepi hutan. Sudah menjadi kehendak yang Maha Kuasa, istri si Miskin hamil 3 bulan. Sehari-hari ia menangis ingin makan buah mangga yang ada di taman raja. Ia merengek-rengek kepada suaminya agar mau mengambil buah mangga itu. Tentu saja si Miskin jadi bingung tiada terkira. Maka katanya: “Ayolah istriku. Apakau engkau hendak membunuhku? Permintaanmu sungguh tak masuk di akal. Bukankah kau tahu? Jangankan mendekati istina raja, mendekati rumah orang-orang di kampung saja kita sudah diusir, dilempari batu dan kayu.”

Setelah didengar oleh isterinya apa kata suaminya,  maka makin sedih hatinya, makin menjadi rengek tangisnya.  Si Miskin merasa nelangsa, mendengar tangis istrinya hatinya serasa disayat sembilu. Dalam hati ia bertekat untuk tak akan mengecewakan istrinya. Demi anak yang ada dalam kandungan istrinya, ia rela berkorban apa saja. Nyawa sekalipun. Maka berkatalah ia pada istrinya: “Diamlah istriku, jangan menangis lagi. Sekarang juga aku akan pergi untuk mendapatkan buah mangga itu.”

Sang isteri pun berhenti menangis. Simiskin segera pergi. Bukan ke taman raja, tetapi ia malah pergi ke pasar. Sesampai di kedai yang menjual buah mangga, ia berhenti ragu-ragu.  Hendak meminta, takut diusir dan disambit batu ataupun dipukul kayu. Di depan kedai ia hanya berdiri mematung dengan wajah bingung. Melihat ada orang miskin berdiri di depan kedainya dengan wajah bingung, pemilik kedai keluar dan berkata: “Hai orang miskin, mau apa kamu berdri di depan kedaiku?”

Dengan hati ragu, setengah takut si Miskin menyahut: “A… ampun tuan, saya ini memang orang miskin. Saya mohon belas kasihan tuan. Apabila diperkenankan  saya ingin meminta  buah mangga yang sudah sudah terbuang itu, barang sebiji saja.”

Mendengar permintaan si Miskin itu, tak hanya pemilik kedai buah mangga yang merasa kasihan, tetapi para pedagang yang ada di sekitar kedai penjual mangga itu hancur rasa hatinya. Maka, ada yang memberinya buah mangga segar, buah-buahan lainnya, nasi, kue-kue, bahkan ada pula yang memberinya pakaian. Tentu saja si Miskin menjadi terheran-heran atas kebaikan orang-orang di pasar itu. Dulu, jangankan memberi,  baru saja ia mendekati pasar, orang-orang sudah mengusirnya dengan lemparan batu dan kayu. Akan tetapi, si Miskin sudah tak mampu lagi berfikir. Saking gembira hatinya menerima pemberian orang-orang pasar itu, ia segera kembali pulang, menemui istrinya, lalu menyerahkan semua barang bawaannya dengan gembira pada sang istri.

“Istriku, lihat apa yang kubawakan untukmu. Tak hanya buah mangga, tetapi juga buah-buahan segar, kue, dan pakaian. Ini untukmu semuanya,”katanya. Si Miskin juga menceritakan kepada istrinya bahwa apa yang dia bawa itu adalah pemberian dari orang-orang di pasar.

Usai si Miskin bercerita, sang istri bukannya merasa senang, tapi malah menangis. Ia tak mau menerima buah mangga pemberian suaminya. Tentu saja si Miskin jadi kesal hatinya, tapi ia mencoba bersabar untuk mendengar keluhan istrinya yang sedang hamil muda itu. Dengan sedih dan meratap istrinya memohon supaya suaminya mau meminta buah mangga yang ada di taman raja.

“Suamiku, aku tak mau makan buah mangga dan buah-buahan lain serta kue yang kau bawa dari pasar ini. Lebih baik aku mati saja. Aku hanya ingin makan buah mangga dari taman raja, saja.  Ini bukan mauku, tapi ini keinginan anak kita yang ada di dalam kandunganku. Tolonglah wahai suamiku. Bagaimana caranya aku bisa makan buah mangga dari taman raja.”

Si Miskin tak ingin istrinya mati. Kalau istrinya mati bagaimana dengan anak yang ada dalam kandungannya? Repot kalau begini urusannya, pikir si Miskin. Karena kasihan kepada istrinya, maka tanpa banyak pikir lagi segera ia balik badan dan pergi ke istana menghadap baginda raja Indra Dewa.

Singkat cerita, sampailah si Miskin ke hadapan baginda raja Indra Dewa tanpa menemui kesulitan. Baginda raja yang pada saat itu sedang berkumpul dengan para menteri dan prajurit istana heran dan bertanya: “ Hai, si Miskin. Mau apa kamu datang ke istana?”

Si Miskin langsung menghatur sembah, dan berkata: “Ampun tuanku baginda raja. Beribu-ribu ampun. Apabila diperkenankan, hamba yang miskin ini  mohon agar kiranya boleh mengambil daun mangga yang sudah berjatuhan ke tanah itu, baginda raja.”
Baginda raja Indra Dewa mengerutkan, hatinya merasa iba seketika. Maka bertanyalah baginda raja: “Hendak engkau apakan daun mangga itu?”

“Untuk dimakan, baginda,” jawab si Miskin dengan hati penuh harap. Bertambah iba hati baginda raja, maka segera diperintahkan seorang prajurit untuk untuk memetik buah mangga yang ada di taman. “Ambilkan barang setangkai buah mangga dan berikan kepada si Miskin ini,” perintahnya.

Prajurit segera melaksanakan perintah, ia pergi memetik setangkai buah mangga, lalu diberikannya kepada si Miskin yang segera menerimanya dengan hati sukacita. Ia mengucapkan terimakasih seraya menghatur sembah pada baginda raja. Pulanglah si Miskin menenteng setangkai buah mangga untuk istri tercinta yang sedang hamil muda.

Ketika sang istri melihat suaminya datang dengan membawa setangkai buah mangga dari taman raja, betapa senang hatinya. Setangkai  buah mangga ia terima dengan suka cita, lalu dimakannya.

Seiring jalannya waktu, tiga bulan berikutnya, istri si Miskin merengek kembali ingin makan buah nangka yang ada di taman raja. Si Miskin pusing tujuh keliling. Baginda raja Indra Dewa memang baik hati, tapi untuk bisa sampai ke pintu gerbang istana, ia harus melalui kampung-kampung yang mana orang-orang akan mengusirnya apabila melihat ia datang mendekati kampung. Tapi apa boleh buat, demi cintanya pada sang istri, demi sayangnya pada anak yang ada dalam kandungan, ia siap melakukan apa saja sekalipun nyawa taruhannya. Maka berangkatlah ia menuju istana baginda raja Indra Dewa.

“Mau apa lagi engkau datang ke istanaku, hei orang miskin,” tanya baginda raja Indra Dewa ketika si Miskin datang lagi ke hadapannya.

Sambil bersujud menghatur sembah, si Miskin berkata: “ Ampun, tuanku. Ampun  beribu-ribu ampun. Hamba ingin meminta daun nangka yang telah gugur di taman paduka itu. Sehelai saja.”

“Akan kau apakan dengan daun nangka itu?”

“Untuk hamba makan, tuanku raja.”

Baginda raja Indra Dewa segera memerintahkan seorang prajurit untuk memetik sebuah nangka dan memberikannya kepada si Miskin. Tentu saja si Miskin menerimanya dengan sukacita. Ia lalu bersujud menghatur sembah kepada baginda raja, menghaturkan terima kasih lalu pamit pulang.

Sesampainya di hadapan sang istri, buah nangka  segera diberikan. Betapa senangnya si Miskin ketika melihat sang istri memakan buah nangka dengan lahapnya. Ya, begitulah adanya. Selama istrinya hamil, banyak kemudahan ia dapatkan. Banyak kebaikan orang ia terima berupa makanan, pakaian, beras, dan segala barang-barang lainnya.

Agaknya memang sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa apabila kehidupan si Miskin suami istri itu senantiasa diliputi bahagia semenjak sang istri mengandung. Dan puncak kebahagian hidup itu terjadi takkala rembulan purnama di langin malam, istri si Miskin melahirkan seorang bayi lelaki yang tampan, sehat dan elok rupanya. Anak tersebut diberinya nama Marakarma, yang artinya anak di dalam penderitaan.

Setelah anaknya lahir, si Miskin membuat gubuk untuk berteduh. Ketika ia menggali lubang untuk memancangkan tiang, cangkulnya mengenai benda keras sampai mengeluarkan suara yang cukup nyaring. Ternyata benda tersebut sebuah peti besi yang ketika berhasil ia buka, isinya penuh dengan emas permata dan sebuah topi mahkota yang berhias emas. Si Miskin terpana, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Tanpa disadarinya, dengan gemetar tangannya meraih topi mahkota yang dalam peti tersebut. Maka, dengan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, terjadilah sebuah istana kerajaan lengkap dengan segala perabotan, pengawal dan prajurit. Si Miskin menjadi rajanya dengan nama Maharaja Indra Angkasa, dan istrinya menjadi permaisuri dengan nama Ratna Dewi. Kerajaannya Bernama Puspa Sari.

***

Singkat cerita, kerajaan Puspa Sari mulai terkenal kemana-mana. Rajanya baik dan bijaksana, negara aman sentosa,  rakyatnya makmur dan damai. Maka, bertambahlah kebahagiaan Maharaja Indra Angkasa ketika tak seberapa lama kemudian lahirlah adik Marakarma,  perempuan,  diberi nama Nila Kesuma.

Kerajaan Puspa Sari bertambah masyhur. Berita tentang kemasyhuran kerajaan Puspa Sari akhirnya sampai ke telinga Maharaja Indra Dewa di negri Antah Berantah dan membuatnya jadi iri dan merasa tersaingi. Ketika kemudian tersiar kabar kalau Maharaja Indra Angkasa mencari ahli nujum untuk mengetahui peruntungan nasip kedua anaknya di masa depan, Maharaja Indra Dewa memanfaatkan kesempatan baik ini. Segera ia kumpulkan semua ahli nujum, dan dihasutnya supaya mengatakan kepada Maharaja Indra Angkasa kalau kedua anaknya itu, Marakarma dan Nila Kesuma, akan mendatangkan mala petaka yang bisa menghancurkan kerajaan Puspa Sari.

Siasat licik dari Maharaja Indra Dewa berhasil. Ketika mendengar hasil ramalan dari para ahli nujum kalau kedua anaknya akan mendatangkan mala petaka bagi kerajaan Puspa Sari, Maharaja Indra Angkasa langsung marah-marah. Segera ia hampiri kedua naknya, Marakarma dan Nila Kesuma hendak dibunuhnya.  Permaisuri Ratna Dewi berusaha menghalangi maksud suaminya. Sambil menangis tersedu-sedu, ia memohon kepada sang suami agar kiranya jangan sampai membunuh kedua putra tercinta. Demi melindungi kedua putra putrinya itu, permaisuri memohon dengan sangat agar kedua anak itu dikeluarkan saja dari istana. Tanpa pikir panjang lagi, baginda Maharaja Indra Angkasa langsung mengusir kedua anaknya keluar istana. Tak berapa lama setelah Marakarma dan adiknya pergi meninggalkan istana, kerajaan Puspa Sari terbakar habis. Semuanya musnah. 

***

Singkat cerita, Marakarma dan adiknya, Nila Kesuma, sampai di kaki sebuah bukit. Badan lemas dan perut menahan lapar. Mereka berhenti untuk melepas lelah di bawah sebuah pohon rindang. Begitu mereka duduk, seekor burung hinggap di pundak Marakarma yang segera ditangkapnya. Lumayan buat pengobat lapar, pikirnya. Maka diajaklah adiknya untuk mencari api ke rumah petani di sebuah kampung. Ia hendak membakar burung tangkapannya itu untuk dimakan sebagai penangkal lapar. Tetapi apa yang terjadi? Marakarma dan adiknya ditangkap oleh paman petani karena dituduh hendak mencuri. Mereka berdua lalu dibuang, dilempar ke laut. Diterjang ombak sampai hanyut kesana kemari, sampai akhirnya Nila Kesuma terdampar di sebuah pantai entah di mana. Ia ditemukan oleh Raja Mangindra Sari, putra mahlota kerajaan Palinggam Cahaya. Nila Kesuma dibawa ke istana, kemudian dipersunting raja Mangindra Sari, menjadi permaisurinya dengan gelar Putri Mayang Mengurai.

[iklan]

Sementara itu, Marakarma dibawa gulungan ombak dan terdampar di tepi pantai yang dijadikan pangkalan tempat mandinya Nenek Gergasi si raksasa tua. Kemudian ia diambil dan dimasukkan dalam kurungan di di depan rumahnya rumahnya, tak jauh dari pantai. Kebetulan di situ telah dikurung pula Putri Raja Cina bernama Cahaya Khairani yang tertangkap lebih dahulu. Mereka ini akan dijadikan santapan Nenek Gergasi.

Alkisah pada suatu hari, ada sebuah kapal mendekati pantai. Sang nahkoda kapal yang melihat ada orang dalam kurungan segera memerintahkan anak buahnya untuk menolong orang yang ada dalam kurungan itu dan membawanya ke kapal. Kebetulan Nenek Gergasi sedang tak ada di rumah ketika itu. Setelah sampai di atas kapal, melihat kecantikan dari Cahaya Khairani, sang Nahkoda langsung jatuh cinta. Cahaya Khairani dipaksa masuk ke kamarnya dan Marakarma dilemparkan ke laut. Kapal pun meneruskan perjalanan.

Dalam keadaan terapung-apung dipermainkan ombak yang gulung-gemulung, setelah kapal jauh berlayar, Marakarma ditelan seekor Ikan Nun yang sangat besar. Ikan itu kemudian terdampar di tepi pantai dekat rumah Nenek Kebayan. Bertepatan pada saat itu ada seekor burung Gagak yang melintas di atas pondok Nenek Kebayan. “Oowaak… Owaak…,” teriak si burung seakan memanggil Nenek Kebayan kalau ada seekor ikan terdampar, dan memberitahu agar segera membelah perut Ikan Nun yang terdampar di pantai itu dengan hati-hati, karena di dalamnya ada seorang anak raja. Petunjuk burung itu diikuti oleh Nenek Kebayan, dan setelah perut ikan dibelah, keluarlah Marakarma dari dalamnya. Nenek Kebayan sangat gembira karena telah mendapatkan mendapatkan seorang putra yang gagah dan tampan.

Marakarma tinggal di rumah Nenek Kebayan dan sehari-hari ia ikut membantu membuat rangkaian bunga untuk dijual dan dikirim ke pembelinya di pelosok negeri. Dari cerita Nenek Kebayan tahulah Marakarma, bahwa permaisuri kerajaan tempat di mana ia tinggal bersama Nenek Kebayan bernama Mayang Mengurai, yang tiada lain adalah seorang putri yang dibuang ke laut oleh seorang petani ketika hendak mencari api untuk membakar seekor burung bersama kakaknya. Maka, yakinlah Marakarma bahwa putri itu sesungguhnya adalah adiknya sendiri.

Kebetulan Cahaya Khairani maupun Mayang Mengurai sangat menyukai rangkaian bunga buatan Nenek Kebayan, yang sebenarnya dirangkai oleh Marakarma. Pada suatu ketika, Marakarma mencantumkan namanya pada karangan bunga yang dirangkainya. Maka, daripada nama itulah Cahaya Khairani dan Nila Kesuma mengetahui bahwa Marakarma masih hidup. Benih-benih cinta pun mulai bermekaran di hati Cahaya Khairani bila teringat pada Marakarma yang pernah satu kurungan akan menjadi santapan Nenek Gergasi. Akan halnya Nila Kesuma, ia pun rindu ingin berjumpa dengan kakaknya yang ternyata masih hidup. Bersama suaminya ia segera mencari kakaknya, ke rumah Nenek Kebayan.

Betapa gembiranya Mayang Mengurai ketika berhasil menemukan kakaknya di rumah Nenek Kebayan. Selanjutnya, dengan mudah, Marakarma bersama iparnya, Raja Palinggam Cahaya, dapat menemukan tempat Cahaya Khairani disembunyikan oleh nakhoda kapal. Setelah Cahaya Khairani ditemukan, dan ternyata ia belum ternoda oleh sang nakhoda, maka dilangsungkanlah pernikahan antara Marakarma dengan Cahaya Khairani, setelah sang nakhoda yang menggoda Cahaya Khairani itu dibunuh di Kerajaan Palinggam Cahaya.

Marakarma bersama Cahaya Khairani kemudian pergi ke tempat ayah-bundanya yang telah jatuh miskin di Puspa Sari. Dengan kesaktiannya, Puspa Sari yang telah lenyap itu diciptakannya kembali menjadi kerajaan yang lengkap dengan isinya.  Kemudian ia dinobatkan menjadi raja di sana menggantikan ayahnya. Kerajaan Puspa Sari berganti nama menjadi Mercu Buana.

***

0 Comments